Senin, 22 Oktober 2012

Realisme kerakyatan di Yogyakarta


Realisme kerakyatan di Yogyakarta
Kepindahan ibu kota ke Yogyakarta, sejumlah pelukis juga ikut hijrah ke Yogyakarta. Banyak berkarya dengan tema-tema perjuangan. Para pelukis yang tinggal di Yogyakarta ini mulai melukis dengan tema-teman yang mengkritik perkembangan keadaan sosial yang timpang. Pelukis Yogya dikenal sebagai Realisme Kerakyatan. Ada pula yang menyebutnya sebagai Realisme Sosial.
Para pelukis tersebut mendirikan organisasi seniman yang dikenal sebagai ‘Pelukis Rakyat’. Organisasi ini semakin berkembang karena memiliki hubungan erat dengan tokoh pemerintahan. Selain itu, perkumpulan ini pun memiliki hubungan yang erat dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA). Lembaga ini amat berpengaruh dalam menentukan arah kebudayaan nasional.
Kepedulian para seniman Yogyakarta terhadap penderitaan masyarakat amatlah tinggi, para periode selanjutnya ‘jiwa kritis’ yang telah menjadi ciri seniman Yogya pada umumnya tetap tumbuh ada sejumlah seniman generasi baru.
Sejak Revolusi Fisik tahun 1946 dan kepindahan ibu kota ke Yogyakarta, sejumlah pelukis juga ikut hijrah ke Yogyakarta. Para pelukis yang hijrah ini kemudia menetap di Yogyakarta dan banyak berkarya dengan tema – tema perjuangan. Setelah situasi nasional mulai membaik dan pusat pamerintahan dikembalikan ke Jakarta, para pelukis yang tinggal di Yogyakarta ini mulai melukis dengan tema – tema yang mengkritik perkembangan keadaan social yang timpang. Gaya yang dianut oleh sejumlah pelukis Yogya tersebut dikenal sebagai Realisme Kerakyatan. Adapula yang menyebutnya sebagai Realisme Sosial.
Para pelukis tersebut mendirikan organisasi seniman pada tahun 1950 yang dikenal sebagai “ Pelukis Rakyat”. Organisasi ini semakin berkembang karena memiliki hubungan erat dengan tokoh pemerintahan, sehingga memperoleh banyak pesanan karya lukisan, patung, dan relief untuk gedung – gedung pemerintahan. Selain itu, perkumpulan inipun memiliki hubungan yang erat dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat ( LEKRA ) yang didirikan pada tahun 1950. Pada waktu itu lembaga ini amat berpengaruh dalam menentukan arah kebudayaan nasional.
Kepedulian para seniman Yogyakarta terhadap penderitaan masyarakat amatlah  tinggi.Hingga, pada periode selanjutnya ‘jiwa kritis’ yang telah menjadi cirri seniman Yogya pada umumnya tetap tumbuh pada sejumlah seniman generasi baru. Merika tetap konsisten mengekspresikan fenomena social yang terjadi di sekitarnya. Sebagaimana ditengarai Selo Soemardjan (1981), Yogyakarta tidak hanya menjadi pusat berbagai macam pembaruan politik, tapi juga tempat ideal bagi eksperimen-eksperimen seni rupa. Lahirnya masterpiece, seperti lukisan Affandi berjudul Laskar Rakjat Sedang Mengatur Siasat, lukisan Pengantin Revolusi karya Hendra Gunawan, lukisan Sudjojono bertajuk Seko Pemuda Gerilya, dan lukisan Persiapan Perang Gerilya karya Doellah adalah buktinya.
Dengan sikap berseni rupa semacam itu, mereka menjemput modernitas–yang pada masa itu lebih dikenal dengan istilah “baru” atau “kebaruan” karena istilah “modern” masih berkonotasi negatif seperti terdapat dalam banyak tulisan Soekarno.

Obesesi “baru” itu, menurut Denys Lombard (1996), sesungguhnya merefleksikan “dampak” Barat terhadap sikap berseni rupa Affandi dan kawan-kawan pada masa itu dalam bentuk “keterputusan dalam hal teknik: cat minyak, perspektif, penggunaan model; dan terutama keterputusan inspirasinya: pemandangan, potret, adegan-adegan cerita, tokoh drama”.
Dengan demikian, tak berlebihan jika dikatakan bahwa “keterputusan” itu telah melahirkan “satu generasi yang unik”–untuk memakai istilah Umar Kayam (2005)–yang “pada lukisan-lukisan mereka itulah terpantul juga perjalanan kita menjadi satu bangsa, memenangkan revolusi, dan membangun suatu negara merdeka”.
Sementara itu, Pelukis Indonesia Muda, yang didirikan oleh pelukis Widayat dan Sajogo pada 1952, memang tak semoncer Seniman Indonesia Muda dan Pelukis Rakjat. Meski demikian, Pelukis Indonesia Muda perlu diketengahkan dalam perhelatan ini mengingat peran mereka sebagai pengusung ideologi humanisme universal di dunia seni rupa Yogyakarta yang mengejawantah dalam lukisan-lukisan abstrak dan dekoratif.
Selain Seniman Indonesia Muda, Pelukis Rakjat, dan Pelukis Indonesia Muda, di gedung bekas De Javasche Bank–bank swasta pada zaman Hindia-Belanda yang beroperasi pada 1879–itu, berdasarkan riset ekstensif Indonesian Visual Art Archive, akan digelar arsip-arsip visual Yogyakarta Biennale I-IX, dengan pusat perhatian pada Biennale Eksperimental, yang muncul pada 1992 sebagai reaksi perupa muda terhadap pengelola Yogyakarta Biennale, yang mengabaikan eksistensi mereka waktu itu.
Berjarak 500 meter ke arah utara, di luar dan di dalam gedung pameran Taman Budaya Yogyakarta, yang dibangun pada 1996, kita bisa menyaksikan pusparagam karya seni rupa mutakhir milik 32 perupa kiwari Yogyakarta. Di antaranya, Budi Kustarto, Dadang Christanto, Eddie Hara, Eko Nugroho, Heri Dono, Ivan Sagita, Nyoman Masriadi, dan Wedhar Riyadi.
Dari sanalah Yogyakarta Biennale X 2009 akan memulai pertemuan kreatif lintas generasi perupa Yogyakarta untuk menyurat yang silam, menyingkap yang tersembunyi, serta menggurat yang menjelang dalam sejarah, tradisi, dan kehidupan berseni rupa di Yogyakarta.
Hal itu juga dapat kita temukan di Sangkring Art Space, yang berjarak 3,5 kilometer ke arah barat dari Taman Budaya Yogyakarta. Di ruang seni milik perupa Putu Sutawijaya ini, tergelar aneka rupa karya 45 perupa kontemporer Yogyakarta, di antaranya Abdi Setiawan, Agapetus Kristiandana, Bayu Yuliansyah, Edo Pop, F. Sigit Santosa, Handiwirman, Hendra “Hehe” Harsono, I Gusti Ngurah Udiantara, Jumaldi Alfi, Rudi Mantofani, dan Tommy Wondra.
Beranjak dari sana, 2 kilometer ke arah utara, pameran dilanjutkan di National Museum. Di bekas kampus Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia ASRI-ISI Yogyakarta ini akan dipamerkan dokumentasi visual dan karya-karya gerakan seni rupa, seperti Bumi Tarung, Sanggar Bambu, Kepribadian Apa, Rumah Seni Cemeti, Taring Padi, dan Indieguerillas.
Rasanya tidaklah berlebihan membayangkan sebuah perjumpaan eksistensial yang membahagiakan antara Bumi Tarung, yang memeluk teguh paham realisme sosial atawa humanisme kerakyatan, dan Sanggar Bambu, yang menganut keyakinan humanisme universal.
Sementara itu, kehadiran Kepribadian Apa dapat menjadi tanda semacam upaya membangkitkan batang terendam di antara eksponen-eksponen gerakan seni rupa yang dimotori oleh Gendut Riyanto, Haris Purnama, dan Ronald Manulang itu. Perlu diketahui, dalam historiografi seni rupa Yogyakarta, Kepribadian Apa disebut-sebut sebagai salah satu gerakan seni rupa anak muda yang menghebohkan jagat seni rupa Yogyakarta karena keberanian mereka memamerkan karya bermuatan kritik sosial-politik. Tak mengherankan jika gerakan ini mendapat terjangan aparat militer pada September 1977.
Selain gerakan-gerakan seni rupa tersebut, di museum ini akan digelar karya-  karya kontemporer, antara lain ciptaan Entang Wiharso, Bambang “Toko” Witjaksono, Dipo Andi, Farhan Siki, Ismail “Sukribo”, Jompet, Terra Bajraghosa, Venzha, Yudi Sulistya, dan Yusra Martunus.

KESIMPULAN
Dari bahasan makalah yang kami buat ini dapat disimpulkan bahwa realisme kerakyatan di Yogyakarta adalah karya dengan tema – tema perjuangan. yang mengkritik perkembangan keadaan social yang timpang. Gaya yang dianut oleh sejumlah pelukis Yogya tersebut dikenal sebagai Realisme Kerakyatan. Adapula yang menyebutnya sebagai Realisme Sosial.


KRITIK DAN SARAN
Demikian Makalah yang dapat kami buat, semoga bermanfaat. Jika ada kekurangan mohon dimaafkan. Jika ada kritik dan saran mohon disampaikan karena kritik dan saran anda sangat berguna bagi perbaikan makalah ini.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar