Realisme kerakyatan di Yogyakarta
Kepindahan
ibu kota ke Yogyakarta, sejumlah pelukis juga ikut hijrah ke Yogyakarta. Banyak
berkarya dengan tema-tema perjuangan. Para pelukis yang tinggal di Yogyakarta
ini mulai melukis dengan tema-teman yang mengkritik perkembangan keadaan sosial
yang timpang. Pelukis Yogya dikenal sebagai Realisme Kerakyatan. Ada pula yang
menyebutnya sebagai Realisme Sosial.
Para
pelukis tersebut mendirikan organisasi seniman yang dikenal sebagai ‘Pelukis
Rakyat’. Organisasi ini semakin berkembang karena memiliki hubungan erat dengan
tokoh pemerintahan. Selain itu, perkumpulan ini pun memiliki hubungan yang erat
dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA). Lembaga ini amat berpengaruh dalam
menentukan arah kebudayaan nasional.
Kepedulian
para seniman Yogyakarta terhadap penderitaan masyarakat amatlah tinggi, para
periode selanjutnya ‘jiwa kritis’ yang telah menjadi ciri seniman Yogya pada
umumnya tetap tumbuh ada sejumlah seniman generasi baru.
Sejak
Revolusi Fisik tahun 1946 dan kepindahan ibu kota ke Yogyakarta, sejumlah
pelukis juga ikut hijrah ke Yogyakarta. Para pelukis yang hijrah ini kemudia
menetap di Yogyakarta dan banyak berkarya dengan tema – tema perjuangan.
Setelah situasi nasional mulai membaik dan pusat pamerintahan dikembalikan ke
Jakarta, para pelukis yang tinggal di Yogyakarta ini mulai melukis dengan tema
– tema yang mengkritik perkembangan keadaan social yang timpang. Gaya yang
dianut oleh sejumlah pelukis Yogya tersebut dikenal sebagai Realisme
Kerakyatan. Adapula yang menyebutnya sebagai Realisme Sosial.
Para
pelukis tersebut mendirikan organisasi seniman pada tahun 1950 yang dikenal
sebagai “ Pelukis Rakyat”. Organisasi ini semakin berkembang karena
memiliki hubungan erat dengan tokoh pemerintahan, sehingga memperoleh banyak
pesanan karya lukisan, patung, dan relief untuk gedung – gedung pemerintahan.
Selain itu, perkumpulan inipun memiliki hubungan yang erat dengan Lembaga
Kebudayaan Rakyat ( LEKRA ) yang didirikan pada tahun 1950. Pada waktu itu
lembaga ini amat berpengaruh dalam menentukan arah kebudayaan nasional.
Kepedulian para seniman Yogyakarta terhadap
penderitaan masyarakat amatlah
tinggi.Hingga, pada periode selanjutnya ‘jiwa kritis’ yang telah
menjadi cirri seniman Yogya pada umumnya tetap tumbuh pada sejumlah seniman
generasi baru. Merika tetap konsisten mengekspresikan fenomena social yang
terjadi di sekitarnya. Sebagaimana ditengarai Selo Soemardjan (1981),
Yogyakarta tidak hanya menjadi pusat berbagai macam pembaruan politik, tapi
juga tempat ideal bagi eksperimen-eksperimen seni rupa. Lahirnya masterpiece,
seperti lukisan Affandi berjudul Laskar Rakjat Sedang Mengatur Siasat, lukisan
Pengantin Revolusi karya Hendra Gunawan, lukisan Sudjojono bertajuk Seko Pemuda
Gerilya, dan lukisan Persiapan Perang Gerilya karya Doellah adalah buktinya.
Dengan sikap berseni rupa semacam itu, mereka
menjemput modernitas–yang pada masa itu lebih dikenal dengan istilah “baru”
atau “kebaruan” karena istilah “modern” masih berkonotasi negatif seperti
terdapat dalam banyak tulisan Soekarno.
Obesesi “baru” itu, menurut Denys Lombard (1996),
sesungguhnya merefleksikan “dampak” Barat terhadap sikap berseni rupa Affandi
dan kawan-kawan pada masa itu dalam bentuk “keterputusan dalam hal teknik: cat
minyak, perspektif, penggunaan model; dan terutama keterputusan inspirasinya:
pemandangan, potret, adegan-adegan cerita, tokoh drama”.
Dengan demikian, tak berlebihan jika dikatakan
bahwa “keterputusan” itu telah melahirkan “satu generasi yang unik”–untuk
memakai istilah Umar Kayam (2005)–yang “pada lukisan-lukisan mereka itulah
terpantul juga perjalanan kita menjadi satu bangsa, memenangkan revolusi, dan
membangun suatu negara merdeka”.
Sementara itu, Pelukis Indonesia Muda, yang
didirikan oleh pelukis Widayat dan Sajogo pada 1952, memang tak semoncer
Seniman Indonesia Muda dan Pelukis Rakjat. Meski demikian, Pelukis Indonesia
Muda perlu diketengahkan dalam perhelatan ini mengingat peran mereka sebagai
pengusung ideologi humanisme universal di dunia seni rupa Yogyakarta yang mengejawantah
dalam lukisan-lukisan abstrak dan dekoratif.
Selain Seniman Indonesia Muda, Pelukis Rakjat,
dan Pelukis Indonesia Muda, di gedung bekas De Javasche Bank–bank swasta pada
zaman Hindia-Belanda yang beroperasi pada 1879–itu, berdasarkan riset ekstensif
Indonesian Visual Art Archive, akan digelar arsip-arsip visual Yogyakarta
Biennale I-IX, dengan pusat perhatian pada Biennale Eksperimental, yang muncul
pada 1992 sebagai reaksi perupa muda terhadap pengelola Yogyakarta Biennale,
yang mengabaikan eksistensi mereka waktu itu.
Berjarak 500 meter ke arah utara, di luar dan di
dalam gedung pameran Taman Budaya Yogyakarta, yang dibangun pada 1996, kita
bisa menyaksikan pusparagam karya seni rupa mutakhir milik 32 perupa kiwari
Yogyakarta. Di antaranya, Budi Kustarto, Dadang Christanto, Eddie Hara, Eko
Nugroho, Heri Dono, Ivan Sagita, Nyoman Masriadi, dan Wedhar Riyadi.
Dari sanalah Yogyakarta Biennale X 2009 akan
memulai pertemuan kreatif lintas generasi perupa Yogyakarta untuk menyurat yang
silam, menyingkap yang tersembunyi, serta menggurat yang menjelang dalam
sejarah, tradisi, dan kehidupan berseni rupa di Yogyakarta.
Hal itu juga dapat kita temukan di Sangkring Art
Space, yang berjarak 3,5 kilometer ke arah barat dari Taman Budaya Yogyakarta.
Di ruang seni milik perupa Putu Sutawijaya ini, tergelar aneka rupa karya 45
perupa kontemporer Yogyakarta, di antaranya Abdi Setiawan, Agapetus
Kristiandana, Bayu Yuliansyah, Edo Pop, F. Sigit Santosa, Handiwirman, Hendra
“Hehe” Harsono, I Gusti Ngurah Udiantara, Jumaldi Alfi, Rudi Mantofani, dan
Tommy Wondra.
Beranjak dari sana, 2 kilometer ke arah utara,
pameran dilanjutkan di National Museum. Di bekas kampus Sekolah Tinggi Seni
Rupa Indonesia ASRI-ISI Yogyakarta ini akan dipamerkan dokumentasi visual dan
karya-karya gerakan seni rupa, seperti Bumi Tarung, Sanggar Bambu, Kepribadian
Apa, Rumah Seni Cemeti, Taring Padi, dan Indieguerillas.
Rasanya tidaklah berlebihan membayangkan sebuah
perjumpaan eksistensial yang membahagiakan antara Bumi Tarung, yang memeluk
teguh paham realisme sosial atawa humanisme kerakyatan, dan Sanggar Bambu, yang
menganut keyakinan humanisme universal.
Sementara itu, kehadiran Kepribadian Apa dapat
menjadi tanda semacam upaya membangkitkan batang terendam di antara
eksponen-eksponen gerakan seni rupa yang dimotori oleh Gendut Riyanto, Haris
Purnama, dan Ronald Manulang itu. Perlu diketahui, dalam historiografi seni
rupa Yogyakarta, Kepribadian Apa disebut-sebut sebagai salah satu gerakan seni
rupa anak muda yang menghebohkan jagat seni rupa Yogyakarta karena keberanian
mereka memamerkan karya bermuatan kritik sosial-politik. Tak mengherankan jika
gerakan ini mendapat terjangan aparat militer pada September 1977.
Selain gerakan-gerakan seni rupa tersebut, di museum
ini akan digelar karya- karya kontemporer,
antara lain ciptaan Entang Wiharso, Bambang “Toko” Witjaksono, Dipo Andi,
Farhan Siki, Ismail “Sukribo”, Jompet, Terra Bajraghosa, Venzha, Yudi Sulistya,
dan Yusra Martunus.
KESIMPULAN
Dari bahasan makalah yang kami buat
ini dapat disimpulkan bahwa realisme kerakyatan di Yogyakarta adalah karya dengan tema – tema perjuangan. yang
mengkritik perkembangan keadaan social yang timpang. Gaya yang dianut oleh
sejumlah pelukis Yogya tersebut dikenal sebagai Realisme Kerakyatan. Adapula
yang menyebutnya sebagai Realisme Sosial.
KRITIK DAN SARAN
Demikian Makalah yang dapat kami buat, semoga bermanfaat.
Jika ada kekurangan mohon dimaafkan. Jika ada kritik dan saran mohon
disampaikan karena kritik dan saran anda sangat berguna bagi perbaikan makalah
ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar