Kamis, 25 Oktober 2012

Teks Drama Persahabatan (Inggris)


Dhea meet with homeroom father, Taufik ...
Dhea     : sir !!!
Taufik    : Yes, son. Oh yes, son, if you look at Fira, tell him to come into my room                                               Dhea     : oh, okay sir!
Taufik    : Okay, thanks son.

Dhea see Fira ...
Dhea     : Fira Firaa .. !
Fira         : why dhe?
Dhea     : You called Mr. Taufik at room, now !!
Fira         : oh, yes  dhe. Thank you.
Dhea     : yes, both.

Fira to the homeroom ...
Fira         : excuse me, sir!
Taufik    : Oh, Fira. In. .. Father  would ask.
Fira         : ask hell, sir?
Taufik    : Fira, you do not pay tuition fees for 3 months! How is this?
Fira         : yes, sir. I will pay as soon as possible really.
Taufik    : okay. The school principal gave a week's time for you to pay off the tuition!
Fira         : If not, sir?
Taufik    : ih ye! the principal will call you and maybe you will be excluded from this school!
Fira         :  yes  sir ..

Teks Drama Persahabatan (Indonesia)


DRAMA


PEMAIN DAN PERAN
Dhea = Murid
Dwimata Tesa Artika = Murid
Kezia Grace Monica = Murid Yang Kehilangan Dompet
Natasha Aulia Putri = Murid
Nurul Safira = Murid yang mengambil Dompet
Siti Aisya = Murid
Taufik Rahman = Wali Kelas
Kresna Dwiky Ramadhana = Kepala Sekolah



hea bertemu dengan bapak wali kelas, Taufik…
Dhea    : Bapaaakk !
Taufik : Iya, nak. Oh iya nak, kalau kamu lihat Fira, suruh dia datang ke ruangan bapak yaa.
Dhea    : oh, oke pak !
Taufik : Oke , makasih nak.

Dhea menemui Fira…
Dhea :  Fira Firaa.. !
Fira      : ngapa dhe?
Dhea    : Kamu dipanggil pak Taufik di ruangannya tuh, sekarang ya!
Fira      : oh, ya deh , dhe. Makasih ya.
Dhea    : ya, sama-sama.

Senin, 22 Oktober 2012

Realisme kerakyatan di Yogyakarta


Realisme kerakyatan di Yogyakarta
Kepindahan ibu kota ke Yogyakarta, sejumlah pelukis juga ikut hijrah ke Yogyakarta. Banyak berkarya dengan tema-tema perjuangan. Para pelukis yang tinggal di Yogyakarta ini mulai melukis dengan tema-teman yang mengkritik perkembangan keadaan sosial yang timpang. Pelukis Yogya dikenal sebagai Realisme Kerakyatan. Ada pula yang menyebutnya sebagai Realisme Sosial.
Para pelukis tersebut mendirikan organisasi seniman yang dikenal sebagai ‘Pelukis Rakyat’. Organisasi ini semakin berkembang karena memiliki hubungan erat dengan tokoh pemerintahan. Selain itu, perkumpulan ini pun memiliki hubungan yang erat dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA). Lembaga ini amat berpengaruh dalam menentukan arah kebudayaan nasional.
Kepedulian para seniman Yogyakarta terhadap penderitaan masyarakat amatlah tinggi, para periode selanjutnya ‘jiwa kritis’ yang telah menjadi ciri seniman Yogya pada umumnya tetap tumbuh ada sejumlah seniman generasi baru.
Sejak Revolusi Fisik tahun 1946 dan kepindahan ibu kota ke Yogyakarta, sejumlah pelukis juga ikut hijrah ke Yogyakarta. Para pelukis yang hijrah ini kemudia menetap di Yogyakarta dan banyak berkarya dengan tema – tema perjuangan. Setelah situasi nasional mulai membaik dan pusat pamerintahan dikembalikan ke Jakarta, para pelukis yang tinggal di Yogyakarta ini mulai melukis dengan tema – tema yang mengkritik perkembangan keadaan social yang timpang. Gaya yang dianut oleh sejumlah pelukis Yogya tersebut dikenal sebagai Realisme Kerakyatan. Adapula yang menyebutnya sebagai Realisme Sosial.
Para pelukis tersebut mendirikan organisasi seniman pada tahun 1950 yang dikenal sebagai “ Pelukis Rakyat”. Organisasi ini semakin berkembang karena memiliki hubungan erat dengan tokoh pemerintahan, sehingga memperoleh banyak pesanan karya lukisan, patung, dan relief untuk gedung – gedung pemerintahan. Selain itu, perkumpulan inipun memiliki hubungan yang erat dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat ( LEKRA ) yang didirikan pada tahun 1950. Pada waktu itu lembaga ini amat berpengaruh dalam menentukan arah kebudayaan nasional.
Kepedulian para seniman Yogyakarta terhadap penderitaan masyarakat amatlah  tinggi.Hingga, pada periode selanjutnya ‘jiwa kritis’ yang telah menjadi cirri seniman Yogya pada umumnya tetap tumbuh pada sejumlah seniman generasi baru. Merika tetap konsisten mengekspresikan fenomena social yang terjadi di sekitarnya. Sebagaimana ditengarai Selo Soemardjan (1981), Yogyakarta tidak hanya menjadi pusat berbagai macam pembaruan politik, tapi juga tempat ideal bagi eksperimen-eksperimen seni rupa. Lahirnya masterpiece, seperti lukisan Affandi berjudul Laskar Rakjat Sedang Mengatur Siasat, lukisan Pengantin Revolusi karya Hendra Gunawan, lukisan Sudjojono bertajuk Seko Pemuda Gerilya, dan lukisan Persiapan Perang Gerilya karya Doellah adalah buktinya.
Dengan sikap berseni rupa semacam itu, mereka menjemput modernitas–yang pada masa itu lebih dikenal dengan istilah “baru” atau “kebaruan” karena istilah “modern” masih berkonotasi negatif seperti terdapat dalam banyak tulisan Soekarno.